KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr., Wb.,
Puji syukur Alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT., berkat rahmat dan ridhonyalah kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul Tokoh-tokoh pendidikan Islam dengan
waktu yang telah ditentukan.
Dengan penyusunan makalah ini
penulis menyadari bahwa, masih banyak terdapat kekurangan dari pada kelebihan
baik isi maupun cara penulisan yang dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan
dan pengalaman yang kami miliki.
Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi sempurnanya
penyusunan makalah ini dimasa yang akan datang. Semoga Allah SWT., membalas dan
melimpahkan rahmat dan hidayahnya atas bantuan yang telah diberikan kepada kami
dalam penyusunan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kami serta bagi pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.,Wb.,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI................................................................................................................................................................... 2
BAB I :
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG........................................................................................................................... 2
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
1.K.H. AHMAD DAHLAN
A. RIWAYAT HIDUP KH. AHMAD DAHLAN......................................................................... 3
B. PEMIKIRAN PENDIDIKAN KH.
AHMAD DAHLAN....................................................... 4
2. KH. HASYIM ASY’ARI
A. RIWAYAT HIDUP KH. HASYIM
ASY’ARI............................................................................ 6
B. PEMIKIRAN KH. HASYIM
ASY’ARI DALAM BIDANG PENDIDIKAN................. 8
3. H.A. MUKHTI ALI
A. RIWAYAT HIDUP H.A. MUKHTI
ALI..................................................................................... 9
B. IDE PEMIKIRAN H.A. MUKHTI
ALI....................................................................................... 9
C. KONSEP PENDIDIKAN H.A
MUKHTI ALI........................................................................... 10
4. SYED M. NAQUID AL-ATTAS
A. RIWAYAT HIDUP SYED M.
NAQUID AL-ATTAS........................................................... 12
B. IDE PEMIKIRAN SYED M.
NAQUID AL-ATTAS.............................................................. 13
C. KONSEP PENDIDIKAN.................................................................................................................. 14
BAB III : PENUTUP
KESIMPULAN................................................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Suksesnya pendidikan di
Indonesia tentunya tidak pernah lepas dari peran para Ulama’. Sekian banyak
ulama’ yang ada di Indonesia baik yang dikenal maupun yang tidak tentunya banyak
pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil. Seiring berjalannya waktu, para
ulama’ yang telah berjasa di Indonesia banyak yang terlupakan, bahkan mereka
ajaran dan peran sertanya banyak yang diabaikan. Oleh karena itu, kita sebagai
mahasiswa tak sepatutnya melupakan jasa-jasa mereka. Bahkan kita harus lebih
giat lagi dalam meneruskan visi dan misi mereka. Dalam makalah kali ini kita
akan mencoba untuk sedikit memaparkan biografi dan peran serta mereka dalam
merentaskan Indonesia dari kebodohan.
Kami sebagai pemakalah
menyadari bawa makalah kami jauh daripada kesempurnaan. Tapi, tak sepatutnya
kita mengalah pada ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, marilah kita coba untuk
merubah ketidaksempurnaan menjadi sempurna. Dan kami sebagai pemakalah juga
mohon kritik dan saran yang membangun demi tercapanya kesempurnaan itu.
Walaupun kesempurnaan itu hanyalah milik-Nya.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Riwayat Hidup KH.
Ahmad Dahlan serta pemikirannya ?
2.
Seperti apa
Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari ?
3.
Bagaimana Riwayat Hidup H.A. Mukti Ali ?
4.
Bagaimana Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib
Al-Attas?
BAB II
PEMBAHASAN
TOKOH-TOKOH
PENDIDIKAN ISLAM
1. K.H.
Ahmad Dahlan
A. Riwayat Hidup
KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman
(Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Ia
berangkat dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya
bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar kraton Yogyakarta.
Sementara ibunya bernama Aminah, putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai
penghulu di kraton Yogyakarta.[1]
Pada usia yang masih muda, ia
membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung denan memakai kapur.
Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid.
Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota
Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil
penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid
agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala
yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan
lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar.
KH. Ahmad Dahlan memperdalam
ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah. Beliau memperdalam ilmu fiqih
kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada
kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama
nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib dari Minangkabau yang dialog
ini pada akhirnya banyak mengalami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi
di Indonesia adalah dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang
tokoh modernis dari Mesir.
Dengan kedalaman ilmu agama
dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan islam, KH. Ahmad
Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan islam ke pelosok-pelosok
tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan
diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November
1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di
Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo da Sarikat
Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat islam
dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23
Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan,
Yogyakarta.[2]
B. Pemikiran
Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan,
upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis
menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan
hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad
Dahlan ini meliputi :
1. Tujuan
Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan,
pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang
berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan
pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling
bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah
model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk
menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya,
pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya
tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah
dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak
menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak
menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut
KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah
melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan
spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut
(agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan
mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
2. Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan
pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi
pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan moral,
akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu
sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang
berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan
intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan
yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup
bermasyarakat.
3. Model Mengajar
Di dalam menyampaikan
pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual
tetapi konekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau
dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
a. Cara
belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah
Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
b. Bahan
pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah
bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c. Hubungan
guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena
para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah
Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
2. K.H. Hasyim Asy’ari
A. Riwayat
Hidup K.H. Hasyim Asy’ari
Nama lengkap K. H. Hasyim
Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang,
sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu
Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. Asal-usul dan
keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan
Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Silsilah keturunannya, sebagaimana diterangkan
oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah
neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI
adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa
lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Menurut penuturan ibunya,
tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada
dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya
kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam
kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur
belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih
sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal)
di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari
umurnya sendiri. Bakat kepemimpinan Kiyai Hasyim sudah tampak sejak masa
kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu
menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan
menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka
menolong dan melindungi sesama.
Semasa hidupnya, ia
mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu
ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan
Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K.H. Hasyim
Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada
K.H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun
merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya,
sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah.
Tepat pada usia 21 tahun,
tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub
tersebut. Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan
ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari
menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh
tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika
belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim
Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh
Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap
7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang
pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini
tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari semasa
tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn
Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn
Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh
Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia tinggal di Mekkah selama 7
tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke
kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam
waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.
Tanggal 31 Januari 1926,
bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan
Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang
dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan
mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan
dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. K. H. Hasyim Asy’ari dikenal
sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang,
Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang
penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia
dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah
Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan
nasional oleh Presiden RI.
Pada tahun 1926 K. H. Hasyim
Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun
1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah
menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk
wilayah Jawa dan Madura. K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di
Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk
kepentingan agama dan pendidikan.
B. Pemikiran K.H.
Hasyim Asy’ari Dalam Bidang Pendidikan.
Hasyim Asy’ari yang
dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak menuntut
ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan
agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu
menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam
masalah-masalah pendidikan. Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang
berbicara tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al
Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al
Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, namun dalam penulisan ini kami tidak menemukakan
kitab aslinya dan akhirnya banyak mengambil dari tulisan Samsul Nizar dalam
bukunya Filsafat Pendidikan Islam, dan buku-buku yang lain sebagai penunjang.
3. H.A. Mukti Ali
A. Riwayat Hidup
H.A. Mukti Ali
Nama lengkapnya Prof Dr H
Abdul Mukti Ali dilahirkan di kota Cepu, pada tanggal 23 Agustus 1923 dan
Meninggal di kota Yogyakarta, pada tanggal 5 Mei 2004 (tepatnya berumur 81 thn)
dengan meninggalkan seorang Istri bernama Siti Asmadah dan tiga orang anak.
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (lahir di Cepu, 23 Agustus 1923) adalah mantan
Menteri Agama Kabinet
Pembangunan II
periode 1973-1978. Sejak berumur delapan tahun, Mukti menjalani pendidikan
Belanda di HIS. Ketika berumur 17 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Pondok
Pesantren Termas, Kediri, Jawa
Timur. Mukti
Ali kemudian melanjutkan studi ke India setelah perang dunia ke dua. Ia
menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan memperoleh gelar doktor sekitar
tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan kembali studinya ke McGill University,
Montreal, Kanada mengambil gelar MA.
Semasa hidupnya, Mukti Ali
telah menulis beberapa buku seperti : Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika,
Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal, Ta'limul
Muta'alim versi Imam Zarkasyi, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Asal Usul
Agama, dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan.
Abdul Mukti Ali meninggal dunia
dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit
Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di
pemakaman keluarga besar Institut
Agama Islam Negeri
(IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.
B. Ide Pemikiran H.A. Mukti Ali
1. Problematika
kerukunan umat beragama dapat dinilai sebagai transformasi religia intelektual
dalam menemukan jawaban atas pergulatan pribadi mengenai interaksi antar umat
beragama di Indonesia. Maka menurutnya betapa pentingnya mempelajari Ilmu
Perbandingan Agama, dan muncullah hal ini dalam kebijakan mentri agama tentang
“Dialog Antar Umat Beragama”.
2. Peningkatan
mutu pendidikan Agama, diantaranya dengan mendirikan Lembaga Pendidikan
Tilawatil Qur’an atau sering disebut LPTQ baik di tingkat daerah maupun pusat.
3. Memperbaiki dan
menertibkan prosedur administrasi, organisasi, termasuk personil yang ada dalam
Departemen Agama.
4. Membentuk wadah
persatuan Ulama’ Indonesia dengan nama MUI
C. Konsep Pendidikan H.A.
Mukti Ali
Secara umum, Mukti Ali
menyoroti masalah etika, akhlaq atau moral lebih pada bagaimana ia dapat
diakses dan diterapkan oleh golongan pelajar yang terbagi dua yaitu, golongan
intelektual atau cendekiawan dan kaum praxis. Menurutnya kaum cendekiawan
dengan kemampuan intelektualnya harus memiliki nilai-nilai moral dalam setiap
ranah intelektual pengetahuannya. Ide-ide, konsep-konsepnya harus bias lebih
mendorong mereka untuk perbaikan-perbaikan, penyempurnaan-penyempurnaan dari
sebuah keadaan yang sekarang dialami. Hal ini bukan berarti keadaan sekarang
tidak lebih baik, tetapi bagaimana kegelisahan para cendekiawan tersebut dapat
memberi sumbangan berarti terhadap keadaan moral masyarakat ke arah yang lebih
baik. Untuk itu, menurut Mukti Ali, salah satu syarat seorang cendekiawan
terutama cendekiawan muslim adalah bahwa ia harus memiliki kecakapan untuk
melahirkan pikiran-pikiran tentang moral dalam kata-kata, baik lisan maupun
tulisan.
Sedangkan kepada golongan
praxis, yang lebih dituntut adalah bagaimana ia dapat menerapkan praktek moral
dalam kehidupan sehari-hari, yang sangat berkaitan dengan hal-hal yang
kongkrit. Lebih jauh tugasnya adalah melakukan tindakan-tindakan untuk
mengatasi persoalan-persoalan empirik.
Sampai di sini, menurut hemat
penulis, sebenarnya perbedaan antara kaum intelektualis dan kaum praxis ini
hanyalah memiliki fungsi untuk memisahkan bidang garap masing-masing kaum itu
sendiri, tidak lebih pada bagaimana keduanya sama-sama memiliki peran yang
signifikan dalam proses kehidupan bermoral di masyarakat.
Atau lebih jelasnya pemisahan
itu untuk memberikan batasan-batasan peran masing-masing dalam memberikan
sumbangan manfaat ke dalam kehidupan berinteraksi sosial. Untuk itu maka
perbedaan tersebut mungkin lebih dikenal sebagai perbedaan dialektis daripada
perbedaan dikotomis.
Perbedaan dialektis yang
dimaksud adalah bahwa titik temu kedua terminology tersebut adalah bahwa kaum
intelektualis dengan kritik sosial dan ide-ide moralnya dapat mampu
menyumbangkan hal yang bermafaat dalam tataran praxis. Dan bahwa Kaum praxis
dengan sendirinya akan memberikan sumbangan berharga bagi pengamatan-pengamatan
yang dilakukan oleh kaum intelektualis.
Kemudian keluar dari
permasalahan tersebut, seperti pendapat para cendekiawan muslim lainnya, Mukti
Ali tidak menafikan akan adanya hubungan ‘organik’ antara pendidikan agama dan
moral. Bahwa sistem agama, yang berupa oerientasi nilai, keyakinan, norma
hukum, juga mempunyai saham yang tidak kecil dalam membentuk watak dan tingkah
laku seseorang.
Lebih jauh menurutnya fungsi
pokok agama adalah mengintegrasikan hidup. Bahwa agama dengan nilai-nilai
moralnya amat diperlukan dalam kehidupan manusia. Contoh kecil dari hubungan
agama dan moral ini dapat dilihat dari fenomena dewasa ini tentang kekhawatiran
masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial yang merugikan akhlak atau moral
di kalangan penduduk kota-kota besar. Dalam hal ini nilai-nilai moral dalam
agama dirasa penting untuk diterapkan.
Dalam Islam, al-Qur’an
misalnya menginginkan untuk menegakkan kehidupan masyarakat yang egaliter, baik
sosial,politik dan sebagainya yang ditegakkan pada dasar-dasar etika. Hal
tersebut dapat dilihat dari ayat-ayat yang menyiratkan tentang “memakmurkan
bumi” atau “menjauhi kerusakan di dunia”. Juga dapat dilihat dari ayat tentang
tugas manusia yang dinyatakan dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sampai di
sini semakin jelalah akan adanya hubungan yang tak teroisakan antara
nilai-nilai agama yang diinternalisakan kepada manusia dengan pendidikan agama
dengan pendidikan moral.[3]
4. Syed Muhammad
Naquib Al-Attas
A. Riwayat Hidup Syed
Muhammad Naquib Al-Attas
Syed Muhammad al Naquib bin
Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 5 September 1931, Ia adik kandung dari Prof.
DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas
Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas,
sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja
Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya
merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid.
Riwayat pendidikan Prof. DR.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut Al-Attas), sejak ia
masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor Baru, tinggal bersama
dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan Ibu Azizah
hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee Neng
English Premary Schoool di Johor Baru. Pada zaman Jepang ia kembali ke Jawa
Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul
Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali
lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul Aziz
(menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian juga
menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Pada tahun 1946,
Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English
College Johor Baru tahun 1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga
pangkat Letnan. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dan melanjutkan
kuliah di University Malaya tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill
University, Montreal, Kanada, dan mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian
melanjutkan lagi pada program pascasarjana di University of London tahun
1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D. In 1987.
Al-Attas mendirikan sebuah
institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama
sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai
Pemikiran dan Peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.
B. Ide Pemikiran
Syed Muhammad Naquid Al-Attas
Al-Atas menawarkan kepada
kita hal-hal untuk memagari intervensi dan pengaruh pedidikan barat yang tidak
relevan dengan pendidikan agama Islam, antara lain:
1. Konsep Ta’dib –
menurutnya pendidikan lebih cocok menggunakan Ta’dib dari pada Tarbiyah karena
pendidikan dalam pengertian Islam meliputi gagasan pendidikan dan segala yang
terlibat dalam proses pendidikannya. Pendidikan secara bertahap ditanamkan
kedalam manusia yang mempunyai akal. Maka ta’dib merupakan suatu upaya
peresapan dan penanaman pada diri manusia dalam proses pendidikan sedangkan
adab sendiri merupakan suatu muatan atau kandungan yang mesti ditanamkan dalam
pendidikan Islam. Adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa menunjuk kebenaran
dan melawan yang salah. Sedangkan tarbiyah berarti menghasilkan, mengembangkan
dari kepribadian yang tersembunyi dan mengembangkan kepada segala sesuatu yang
bersifat fisik dan material.
2. Universalitas.
Menurutnya konsep pendidikan dalam Islam adalah berusaha mewujudkan manusia
yang baik atau manusia universal yang sesuai dengan fungsi diciptakannya
manusia yakni sebagai hamba Alloh dan kholifah dimuka bumi. Dan Bukan menciptakan
Negara yang baik.
3. Universitas, dalam
rangka mewujudkan insane Kamil maka ciri system pendidikan mencerminkan aspek
manusia itu sendiri, dan bukan Negara. Universitas Islam yang dimaksud mampu
mencerminkan pribadi Nabi sebagai Rosul baik dalam hal ilmu maupun tindakan
sehingga dapat menjadi manusia itu sendiri beradab.
4. Islamisasi Ilmu
Pengetahuan. Suatu alternative agar pendidikan yang dilakukan umat islam saat
ini mampu memagari konsep-konsep barat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan
ditunjukkan mampu menjawaab persoalan agama dan sekuler yang setidaknya
mempersempit dikotomi keduanya.
5. Kurikulum.
Kurikulum Ilmu Agama mutlak diadakan pada seluruh tingkat pendidikan. Karena
agama mampu membimbing dan menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.
C. Konsep Pendidikan
Syed Muhammad Naquid Al-Attas
Apabila ditelaah dengan
cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas
bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem
pendidikan terpadu.
Hal tersebut dapat dilihat
dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang
dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia
yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang
dimaksud adalah manusia yang bercirikan:
1. Manusia yang
seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi
isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi
eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan
sosial alamnya.
2. Manusia
seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya (achmadi, 1992: 130). Maka
untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu
keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma
pendidikan yang terpadu.
Indikasi lain yang
mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki
terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan sistem
pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas
untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus
menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu
agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.
Dari deskripsi di atas, dapat
dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada
pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan
dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta'dib
(adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan
bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat
proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di
masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda
dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi
pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Hal itu merupakan indikator
bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu
kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak
mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris).
Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang
bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal
adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif,
afektif dan psikomotorik yang dikembangkan B.S.Bloom dkk. (Muhaimin, 1991 :
1971: 72-73).
Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan
Islami, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi
juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan
mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu,
yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak
menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan
nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan.
BAB III
PENUTUP
Alhamdulillah kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Dimana makalah ini dapat membawa pembaruan dalam
bidang pembentukan lembaga pendidikan islam yang semua sistem pesantren menjadi
sistem klasikal, memasukkan pelajaran umum kepada madrasah. meskipun demikian,
para ulama tetap mendahulukan prndidikan moral atau ahlak, pendidikan individu
dan pendidikan kemasrakatan. Semoga kita sebagai penerus risalah dapat
melanjutkan perjuangannya / segala kiprah yang telah diwariskan oleh para
ulama. Karena ulama merupakan pewaris para nabi.
DAFTAR
PUSTAKA
Djamaluddin. 1998. Kapita
Salekta Pendidikan Islam. Bandung : CV Pustaka Setia
Hasbullah. 1996. Dasar-dasar
Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Nizar, Samsul, 2002. Filsafat Pendidikan
Islam : Pendidikan historis, teoritis, Jakarta: Ciputat Pers
Noer, Delias,1985. Gerakan
Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES